Aturan Seleksi Pimpinan KPK Digugat ke MK

Mahkamah Konstitusi, Foto: Dok Metrotvnews.com

Aturan Seleksi Pimpinan KPK Digugat ke MK

Devi Harahap • 5 March 2025 13:15

Jakarta: Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) kembali digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pemohon mengajukan uji materi Pasal 30 ayat 1 dan 2 mengenai proses seleksi pimpinan KPK. 

Pemohon yang merupakan seorang konsultan hukum, Syukur Destieli Gulo, menyoroti proses seleksi, pengusulan, dan pemilihan pimpinan KPK periode 2024-2029 yang dinilai bertentangan dengan prinsip negara hukum. Menurutnya, penyelenggara negara harus tunduk pada peraturan yang berlaku, termasuk dalam pemilihan pimpinan lembaga antirasuah tersebut.

Syukur mengungkapkan seleksi atau rekrutmen pimpinan KPK yang dilakukan oleh Presiden periode sebelumnya (2019-2024) telah mengganggu independensi pimpinan KPK periode 2024-2029. 

Selain itu, Syukur menilai ada potensi benturan kepentingan, terutama jika pimpinan KPK yang sedang menjabat hendak mencalonkan diri kembali, karena mereka akan diseleksi oleh panitia seleksi yang dibentuk oleh Presiden periode 2024-2029 dan diajukan oleh Presiden yang sama. 

"Bila hal tersebut terjadi, maka semangat untuk menjaga independensi KPK dengan menghindari beban psikologis dan benturan kepentingan, terhadap pimpinan KPK yang hendak mendaftarkan diri kembali pada seleksi calon pimpinan KPK berikutnya, tidak tercapai," jelas Syukur di Gedung MK, Rabu, 5 Maret 2025.
 

Baca juga: UU IKN Digugat ke MK, Persoalkan HGU hingga 100 Tahun

Menurut Syukur, idealnya seleksi dan pengusulan calon pimpinan KPK dilakukan oleh Presiden yang memiliki masa jabatan yang sama dengan DPR. Sebaliknya, pemilihan pimpinan KPK harus dilakukan oleh DPR yang memiliki periode jabatan yang sama dengan Presiden. 

Akan tetapi pada kenyataannya, proses seleksi dan pengusulan pimpinan KPK 2024-2029 dilakukan oleh Presiden periode 2019-2024, sedangkan pemilihannya dilakukan oleh Komisi III DPR periode 2024-2029 pada 21 November 2024.

Pemohon juga menegaskan bahwa perbedaan masa jabatan antara Presiden yang melakukan seleksi dan DPR yang memilih pimpinan KPK tidak sesuai dengan Putusan MK Nomor 112/PUU-XX/2022. 

Putusan tersebut mengamanatkan bahwa seleksi pimpinan KPK harus dilakukan oleh Presiden dan DPR yang memiliki masa jabatan yang sama untuk menjaga independensi KPK. Jika tidak, pemohon menilai bahwa posisi pimpinan KPK periode 2024-2029 menjadi inkonstitusional dan tidak sah. 

"Tegasnya menurut Pemohon, pimpinan KPK periode 2024-2029 inkonstitusional dan tidak sah," cetusnya.
 
Baca juga: Daftar Penyebab PSU di Bangka Barat: Politik Uang hingga Kelalaian Bawaslu

Pemohon berargumen bahwa ketidaksesuaian dalam proses seleksi dan pemilihan pimpinan KPK ini telah melanggar hak konstitusionalnya sebagai warga negara. Khususnya, hak untuk mendapatkan penyelenggaraan negara yang berdasarkan hukum dan konstitusi. 

"Proses seleksi pengusulan dan pembelian pimpinan KPK 2024-2029 tersebut telah mencederai nilai negara hukum yang dirumuskan dalam Pasal 1-3 UUD 1945, sehingga menimbulkan kerugian konstitusional bagi pemohon berupa hilangnya maruah penegakan hukum dan konstitusi di Indonesia yang semestinya dilakukan secara konsisten dan konsekuen," tegas Syukur. 

Ia pun meminta MK untuk menegaskan makna frasa 'Dewan Perwakilan Rakyat', 'Presiden', dan 'Pemerintah' dalam Pasal 30 ayat (1) dan (2) UU KPK agar sejalan dengan Putusan MK 112/PUU-XX/2022.

Menanggapi hal tersebut, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh menyarankan Syukur untuk memperbaiki kedudukan hukum dalam permohoman agar lebih kuat. 

"Dalam hal ini perlu dielaborasi agar dapat menyakinkan MK kalau saudara Syukur ini punya legal standing," ujar Daniel. 

Sementara itu, Ketua MK Suhartoyo menanggapi isi petitum permohonan yang meminta agar pimpinan KPK periode 2024-2029 untuk tidak membuat keputusan serta tidak melaksanakan tugas, wewenang, dan fungsi KPK sampai perkara ini diputus oleh MK.

MK menilai jika pimpinan KPK periode sekarang ini tidak boleh membuat keputusan, bisa terjadi kekosongan hukum. Sebab, norma undang-undang sebelum dibatalkan oleh MK apapun kondisinya, harus diakui sifat keberlakuannya tidak boleh tertunda. 

"Kecuali norma-norma yang diuji menimbulkan dampak masif sehingga dari hari ke hari semakin ada korban-korban yang ditimbulkan dari norma," ujar Suhartoyo.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(Arga Sumantri)