Satu hari usai Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan soal Undang-Undang Pilkada, DPR meresponnya dengan menggelar rapat kilat RUU Pilkada. Hasilnya, DPR mengabaikan putusan MK soal batas usia calon kepala daerah dan menyepakati putusan Mahkamah Agung (MA) bahwa seseorang bisa mencalonkan diri bila berusia 30 tahun saat pelantikan.
Puluhan anggota dewan dalam rapat Badan Legislasi (Baleg) memperdebatkan dua putusan MK, Rabu siang, 20 Agustus 2024. Pertama, putusan nomor 70 tentang syarat usia calon kepala daerah yang dihitung saat penetapan pasangan calon di Pilkada yang berlangsung saat pendaftaran. Balek menolaknya mentah-mentah. Alhasil, putusan ini berpotensi jadi karpet merah bagi putra bungsu Presiden Jokowi Kaesang Pangarep yang usianya belum genap 30 tahun saat penetapan versi putusan Mahkamah Konstitusi.
Meski sempat berdebat panas, akhirnya Baleg sepakat menganulir putusan MK soal syarat usia calon kepala daerah dan mengikuti putusan MA. Terlepas dari perdebatan mau ikut putusan MA atau putusan MK, sudah barang tentu putusan MK tidak dibenturkan dengan putusan MA.
Putusan MK yang merupakan pengujian konstitusionalitas norma undang-undang terhadap undang-undang dasar harus dipedomani oleh semua pihak, tidak terkecuali DPR, pemerintah, dan MA. Ketika MK sudah memberi tafsir, mau tidak mau, senang tidak senang, maka itulah yang harus diikuti oleh semua pihak.
Seperti halnya putusan MK soal batas usia capres-cawapres di akhir 2023 lalu yang langsung serta-merta diterapkan oleh KPU saat itu. Sehingga membuka jalan bagi Gibran Rakabuming Raka menjadi cawapres di kontestasi
Pilpres 2024.
Tak hanya soal usia calon kepala daerah, di hari yang sama Baleg juga membahas syarat ambang batas pencalonan. Baleg ketok palu bahwa syarat threshold hanya diberlakukan untuk partai nonparlemen atau partai yang tidak memiliki kursi di DPRD. Padahal tidak begitu bunyi putusan MK.
DPR dinilai mengakali putusan MK ini yang melonggarkan ambang batas pencalonan kepala daerah untuk semua partai politik peserta pemilu. Pada akhirnya pasal 40 ayat 1 Undang-Undang Pilkada yang mengatur ambang batas 20% kursi DPRD atau 25% suara sah pileg tetap diberlakukan bagi partai-partai politik yang memiliki kursi parlemen. Padahal, MK membatalkan pasal itu untuk menghindari demokrasi yang tidak sehat sebab threshold versi Undang-Undang Pilkada rentan memunculkan calon tunggal.
Terlepas dari rapat kilat Baleg menyikapi putusan MK ini, Baleg DPR mengingatkan bahwa DPR pemegang kekuasaan dalam pembentukan undang-undang.
Namun perlu kita ingat juga bahwa MK merupakan penafsir konstitusi satu-satunya yang memiliki kewenangan menguji undang-undang terhadap UUD 1945 dalam sistem hukum Indonesia. Putusan MK bersifat final dan mengikat serta berlaku serta-merta bagi semua pihak atau erga omnes.
Upaya Revisi Undang-Undang (RUU) Pilkada yang dilakukan DPR saat ini bisa dinilai sebagai pembangkangan dan bisa membuat Pilkada 2024 inkonstitusional dan tidak legitimate untuk dilaksanakan.