Bedah Editorial MI: Revisi KUHAP tanpa Cacat

15 July 2025 08:10

DPR dan pemerintah bertekad untuk segera menuntaskan revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Semangat yang baik, sebenarnya. Aturan di undang-undang yang berusia lebih dari 44 tahun itu tentunya sudah ketinggalan zaman. 

Ditambah lagi, hukum acara saat ini harus menyesuaikan diri dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku mulai Januari 2026 setelah direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023. Walhasil, KUHAP harus turut diperbaharui untuk mengikuti paradigma baru di dalam KUHP. Sebab, KUHAP adalah rambu-rambu dan proses untuk menjalani KUHP selaku pedoman isi pidana. 

Apalagi, pasal-pasal di dalam KUHAP produk 1981 dianggap tidak mampu melindungi hak warga negara. Aturan itu misalnya penyerahan tembusan surat perintah penangkapan kepada keluarga tersangka hanya disebutkan diberikan segera setelah penangkapan. Tidak ada batas waktu yang rigid. 

Komisi III DPR telah membahas total 1.676 daftar inventarisasi masalah (DIM) dalam revisi RUU KUHAP. Rinciannya, sebanyak 1.091 pasal dipertahankan, 68 pasal diubah, 91 pasal lama dihapus, 131 pasal baru, dan 256 perubahan redaksional. 

DPR juga mengeklaim telah melakukan rapat dengar pendapat umum (RDPU) kurang lebih sebanyak 50 kali, termasuk dengan koalisi masyarakat sipil untuk pembaruan KUHAP. Tanpa berupaya mengerdilkan kerja anggota dewan yang terhormat, sejumlah kritik masih terlontar seputar pembahasan RUU itu. Kritik itu mulai dari pelibatan partisipasi masyarakat hingga persoalan isi dalam draf RUU. 
 

Baca juga: KPK Nilai RKUHAP Melemahkan Fungsi Penyadapan dan Kewenangan Penyelidik

Kelompok masyarakat banyak yang berharap dan menyerukan agar revisi UU KUHAP menjamin penghormatan hak asasi manusia lewat prinsip due process dan adanya pengawasan yudisial atas seluruh tindakan aparat penegak hukum. Dengan demikian, tidak ada lagi kesewenang-wenangan aparat terhadap rakyat. 

Di sisi penegak hukum juga masih melontarkan sejumlah masukan. Termasuk, ketidaksinkronan dengan UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kritik itu menyasar proses yang semestinya ada pengaturan lex specialis dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi sebagai extra ordinary crime.

Tidak ada yang membantah bahwa pembahasan RUU KUHAP urgen dilakukan. Hanya, proses akan menentukan hasil. Kecepatan tidak berarti harus tergesa-gesa. Seluruh tahapan dan proses harus berjalan secara baik dan benar tanpa mengada-ada. 

Proses revisi KUHAP bisa diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo sesingkat-singkatnya. Kecepatan proses harus tetap dijalankan dengan cara yang seksama. Mengebut menciptakan undang-undang tidak boleh mengabaikan kualitas dan keberpihakan kepada rakyat yang dikorbankan. 

Sebab, beragam produk legislasi terbukti bermasalah justru ketika di proses. Sehingga, UU produk proses yang tergesa-gesa itu akhirnya terbentur di Mahkamah Konstitusi (MK). Sudah sepantasnya, MK dilihat sebagai lembaga pengoreksi hasil kerja pilar legislatif dan eksekutif. Selain menimbang keselarasan undang-undang dengan konstitusi, sebuah undang-undang dibentuk pada hakikatnya bertujuan untuk melindungi rakyat, bukan sekadar alat penguasa.

Dengan memerhatikan prinsip-prinsip itu, sudah seharusnya produk undang-undang memenuhi tiga prinsip dalam partisipasi bermakna, yakni hak untuk didengar, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya, dan hak untuk mendapat penjelasan. Jika prinsip itu tidak terpenuhi, sama saja menciptakan partisipasi formalitas atau bahkan manipulasi partisipasi. 

Jika itu yang dilakukan, jangan salahkan jika UU itu rontok saat diuji di MK. Sebaliknya, jika UU digarap melalui proses yang baik dan benar, produk legislasi yang lahir juga akan solid. Dengan demikian, tidak ada alasan bagi MK untuk membatalkannya ketika ada yang menguji UU itu.  

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Silvana Febriari)