Sanksi Pemberatan untuk Aksi Preman

23 April 2025 09:26

Sebagai negara hukum, negeri ini tengah menghadapi kondisi seolah hampir kosong dari tatanan hukum. Saat kemarahan berkecamuk, sistem pun ditekuk oleh perilaku barbar. Sasaran para pelaku amuk itu pun ke segala arah, termasuk ke aparat penegak hukum itu sendiri.
 
Betapa tidak. Pada Maret lalu, misalnya, tiga personel polisi tewas ditembak saat menggerebek sabung ayam di Way Kanan, Lampung. Dua personel TNI, seorang anggota Polri, dan seorang warga sipil kini menjalani persidangan selaku tersangka.
 
Lalu, pada Jumat (18/4), warga mengepung dan merusak kendaraan yang membawa anggota kepolisian. Satu dari tiga mobil bahkan dibakar. Semua itu karena seorang ketua ormas di Cimanggis, Depok, Jawa Barat, dibawa oleh 14 aparat penegak hukum menuju Polres Depok untuk diproses terkait dengan kasus perusakan dan kepemilikan senjata api.
 
Kemudian, ada lagi kejadian ketika 11 orang penagih utang alias debt collector merusak mobil dan menganiaya pengemudi sebuah mobil. Ironisnya, aksi koboi pada 19 April itu terjadi di dalam Polsek Bukit Raya, Kota Pekanbaru, Riau. Aksi barbar itu bahkan berlangsung di hadapan petugas piket yang tengah berjaga.
 

Baca: Anggota Ormas Bakar Mobil dan Aniaya Polisi Depok Dijerat Pasal Berlapis

Tidak terima dan marah atas kejadian itu, Kapolda Riau Irjen Herry Heryawan memutasi Kapolsek Bukit Raya Komisaris Syafnil. Aparat penegak hukum telah menangkap empat orang dan masih memburu tujuh penagih utang pembuat onar tersebut.
 
Polisi yang hingga saat ini masih diakui sebagai aparat penegak hukum seakan sudah tidak dihargai lagi. Bahkan, hukum sudah tidak dipandang lagi oleh mereka yang mengandalkan kekuatan fisik, suara nyaring, dan nyali tinggi karena merasa memiliki beking.
 
Mereka seakan menjadi pemilik kuasa karena menguasai massa. Sehingga, mereka mengira bisa mengatur hukum. Mereka merasa berada di atas, kalau tidak mau disebut mengangkangi hukum. Polisi saja bisa mereka ancam dan aniaya, apalagi masyarakat sipil biasa.
 
Sudah saatnya polisi bersikap tegas. Sebagai alat negara, seluruh jajaran Polri sebenarnya sudah diberikan sejumlah kekuasaan, baik secara peraturan, hukum, personel, hingga persenjataan.
 
Baca: Sahroni Kecam Keras Aksi Pembakaran Mobil Polisi di Depok

Sepanjang di bawah langit Tanah Air, Polri hanya berada di bawah presiden. Tidak ada yang bisa merasa dan mengeklaim bisa menjadi bos dari polisi selain presiden.
 
Jangan sampai ada anggapan Polri justru takluk atau kalah menghadapi premanisme. Polisi harus bisa menjadi penegak hukum. Sebab, hukum bukanlah benang basah yang mustahil untuk diberdirikan.
 
Karena itu, langkah tegas dan keras mesti segera dilakukan. Termasuk, menerapkan pemberatan sanksi bagi mereka yang melawan hukum dengan mengganggu penegak hukum. Aksi premanisme yang merusak fasilitas, termasuk milik Polri, mesti diberi sanksi mengganti fasilitas dan kerugian yang timbul.
 
Jangan pula kerusakan yang ditimbulkan aksi sekelompok preman berkedok organisasi kemasyarakatan (ormas) justru dibebankan ke negara. Sanksi yang diperberat itu juga untuk memberikan efek jera dan pembelajaran bagi mereka yang gemar melakukan tindak kekerasan. Jangan ada lagi yang berpikir bisa semena-mena ke orang lain.
 
Karena itu, hukum mesti tegak setegak-tegaknya. Apalagi ada adagium hukum harus tegak walau langit runtuh. Padahal, hari ini langit masih jauh dari kata runtuh. Maka, menegakkan hukum tanpa pandang bulu mestinya tidak ada halangan. Kita semua butuh negeri yang damai, tenang, dan aman, bukan negeri yang terus-terusan diteror aksi-aksi preman. 

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Diva Rabiah)