Penjelasan Pajak Karbon, Instrumen yang Bisa Bantu RI Pangkas Emisi hingga 29%

Ilustrasi pajak karbon. Foto: ASEAN+3 Macroeconomics Research Office.

Penjelasan Pajak Karbon, Instrumen yang Bisa Bantu RI Pangkas Emisi hingga 29%

Husen Miftahudin • 21 September 2025 17:15

Jakarta: Persoalan perubahan iklim kian mendapat perhatian global seiring dampak pemanasan bumi yang semakin nyata. Panjangnya masa musim kemarau 2024 menegaskan peningkatan konsentrasi gas rumah kaca akibat pembakaran fosil, deforestasi, hingga praktik industri tidak berkelanjutan, yang dianggap telah mempercepat laju perubahan iklim. Dampaknya terlihat dari kenaikan suhu rata-rata bumi, gangguan siklus musim, mencairnya glasier, hingga meningkatnya risiko krisis pangan dan kesehatan.

Studi Global Carbon Project menempatkan Indonesia di posisi keenam dunia sebagai penghasil gas rumah kaca terbesar dengan emisi hampir 700 juta ton karbon. Besarnya penggunaan kendaraan bermotor, mesin industri, hingga keterbatasan pemanfaatan energi terbarukan menjadi faktor utama. Kondisi ini membuat Indonesia harus mempercepat langkah mitigasi agar target penurunan emisi bisa tercapai.

Salah satu langkah strategis adalah melalui penerapan pajak karbon. Instrumen ini menjadi tindak lanjut kesepakatan internasional, mulai dari Kyoto Protocol hingga Paris Agreement 2016, yang menuntut negara-negara anggota untuk menekan laju emisi gas rumah kaca.

Indonesia sendiri telah menargetkan penurunan emisi hingga 29 persen pada 2030, atau 41 persen dengan dukungan internasional. Kebijakan tersebut kemudian dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), yang secara khusus mengatur pengenaan pajak karbon.
 

Baca juga: Kampanye Jaga Bumi Mampu Kurangi Emisi Karbon 161 Ribu Kg CO2


(Ilustrasi pajak karbon. Foto: Freepik via Coaction.id)
 

Tahap awal diberlakukan di sektor PLTU batu bara


Pajak karbon pada tahap awal diberlakukan di sektor pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan bakar batu bara dengan harga Rp30 per kilogram emisi CO2. Pemerintah memperkirakan potensi penerimaan negara dari skema ini dapat mencapai Rp23,6 triliun pada 2025. Dana tersebut diharapkan bisa dialokasikan untuk mendukung pembangunan ekonomi hijau, investasi energi terbarukan, serta program mitigasi iklim lain.

Meski demikian, penerapan pajak karbon bukan tanpa tantangan. Kebijakan ini berpotensi mendorong kenaikan harga bahan bakar fosil, melemahkan daya saing industri, dan menekan pertumbuhan ekonomi.

Oleh karena itu, pemerintah perlu menyiapkan langkah antisipatif, seperti memperluas akses transportasi publik ramah lingkungan, mendorong penggunaan kendaraan listrik, serta memberikan edukasi intensif agar masyarakat memahami manfaat jangka panjang kebijakan ini.

Pada akhirnya, pajak karbon bukan sekadar instrumen fiskal, melainkan wujud komitmen Indonesia dalam menjaga kelestarian lingkungan dan keberlanjutan ekonomi. Keberhasilan implementasinya akan bergantung pada kolaborasi pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat dalam mengurangi jejak karbon serta membangun fondasi ekonomi hijau bagi generasi mendatang. (Aulia Rahmani Hanifa)

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(Husen Miftahudin)