Ilustrasi pajak karbon. Foto: ASEAN+3 Macroeconomics Research Office.
Husen Miftahudin • 21 September 2025 17:15
Jakarta: Persoalan perubahan iklim kian mendapat perhatian global seiring dampak pemanasan bumi yang semakin nyata. Panjangnya masa musim kemarau 2024 menegaskan peningkatan konsentrasi gas rumah kaca akibat pembakaran fosil, deforestasi, hingga praktik industri tidak berkelanjutan, yang dianggap telah mempercepat laju perubahan iklim. Dampaknya terlihat dari kenaikan suhu rata-rata bumi, gangguan siklus musim, mencairnya glasier, hingga meningkatnya risiko krisis pangan dan kesehatan.
Studi Global Carbon Project menempatkan Indonesia di posisi keenam dunia sebagai penghasil gas rumah kaca terbesar dengan emisi hampir 700 juta ton karbon. Besarnya penggunaan kendaraan bermotor, mesin industri, hingga keterbatasan pemanfaatan energi terbarukan menjadi faktor utama. Kondisi ini membuat Indonesia harus mempercepat langkah mitigasi agar target penurunan emisi bisa tercapai.
Salah satu langkah strategis adalah melalui penerapan pajak karbon. Instrumen ini menjadi tindak lanjut kesepakatan internasional, mulai dari Kyoto Protocol hingga Paris Agreement 2016, yang menuntut negara-negara anggota untuk menekan laju emisi gas rumah kaca.
Indonesia sendiri telah menargetkan penurunan emisi hingga 29 persen pada 2030, atau 41 persen dengan dukungan internasional. Kebijakan tersebut kemudian dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), yang secara khusus mengatur pengenaan pajak karbon.
Baca juga: Kampanye Jaga Bumi Mampu Kurangi Emisi Karbon 161 Ribu Kg CO2 |