Pertumbuhan Hasil Panen Padi Indonesia Lemah, Bank Dunia: Kurang dari 1%

Ilustrasi panen raya padi. Foto: Medcom.id/Alex Rajes.

Pertumbuhan Hasil Panen Padi Indonesia Lemah, Bank Dunia: Kurang dari 1%

Naufal Zuhdi • 20 September 2024 14:22

Jakarta: Country Director for Indonesia and Timor-Leste, East Asia and Pacific World Bank (Bank Dunia) Carolyn Turk mengungkapkan pertumbuhan hasil panen, khususnya di sektor padi, Indonesia masih tergolong lemah.

"Hasil panen meningkat namun sangat lemah, rata-rata meningkat kurang dari satu persen per tahun," ujar Carolyn saat ditemui pada acara Indonesia International Rice Conference (IIRC) 2024, di Nusa Dua, Bali, dikutip Jumat, 20 September 2024.

Mendapati angka pertumbuhan produktivitas padi yang rendah itu, Carolyn pun sangat menyayangkan hal tersebut bisa terjadi. Pasalnya, Carolyn menyebut biaya yang dikeluarkan untuk pupuk dan beberapa subsidi lainnya sudah cukup besar, namun nyatanya, itu pun masih tidak mampu meningkatkan produktivitas padi.

"Pengeluaran yang begitu besar untuk satu elemen saja, yaitu pupuk, akan mengesampingkan pengeluaran untuk hal-hal yang mendorong pertumbuhan produktivitas di sektor pertanian. Termasuk investasi pemerintah dalam penelitian dan pengembangan serta penyuluhan pertanian, yang biasanya memberikan keuntungan yang cukup tinggi," papar dia.

"Pengeluaran tersebut biasanya mempunyai keuntungan yang cukup tinggi dalam kaitannya dengan pertumbuhan produktivitas," jelas Carolyn.
 

Baca juga: Pemerintah Pede Kemiskinan Ekstrem Hilang dari Indonesia di Tahun Ini
 

Diperparah faktor perubahan iklim


Carolyn juga menyoroti faktor perubahan iklim yang menjadi faktor penyebab produktivitas padi di Indonesia menurun. Bank Dunia memperkirakan, kenaikan suhu dan perubahan pola curah hujan dapat menurunkan hasil panen padi di Indonesia sebesar 0,72 persen pada 2030.

"Dan pada saat yang sama, ketika suhu lebih tinggi, apa yang kami amati dari negara lain adalah suhu yang lebih tinggi juga menyebabkan lebih banyak wabah hama, lebih banyak wabah penyakit, dan sering kali disertai dengan banjir, kekeringan, intrusi air asin, sehingga menciptakan konteks iklim yang sangat rumit untuk penanaman padi," jelas Carolyn.

Sementara itu, analisis Bank Dunia menunjukkan hanya 31 persen penduduk Indonesia yang mampu mendapatkan makanan yang benar-benar sehat, dan harga beras yang tinggi mempersulit konsumen miskin Indonesia untuk membeli makanan bergizi seperti daging, telur, ikan, plum, sayur-sayuran dan seterusnya.

"Gizi penting bagi pembentukan sumber daya manusia, dan pembentukan sumber daya manusia penting bagi pertumbuhan ekonomi dan pembangunan. Oleh karena itu, hal ini sejalan dengan ambisi pertumbuhan Indonesia untuk menjadi negara dengan perekonomian berpendapatan tinggi pada 2045," tutur dia.

Untuk mencapai tujuan tersebut, Carolyn menekankan diperlukan populasi yang bergizi baik dan dapat berkembang secara kognitif hingga mencapai potensi maksimalnya, yaitu memiliki pola makan yang bergizi dan seimbang.

"Oleh karena itu, kita perlu memikirkan tantangan dalam menyediakan pola makan yang aman, terjangkau, dan bergizi bagi seluruh penduduk di Indonesia. Dan kita perlu memikirkan bagaimana hal ini dapat dilakukan tanpa menggunakan lebih banyak lahan untuk budidaya pertanian, dan tanpa berkontribusi terhadap semakin memburuknya ketahanan air," kata dia.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Husen Miftahudin)