Gubernur Riau Abdul Wahid (tengah). Foto: Tangkapan layar YouTube KPK RI.
Gubernur Riau Minta Jatah Preman ke Bawahan, Pengamat: Menyedihkan!
Rahmatul Fajri • 6 November 2025 19:23
Jakarta: Peneliti Pusat Studi Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM) Zaenur Rohman mengaku prihatin dengan kasus korupsi yang menjerat Gubernur Riau Abdul Wahid. Zaenur mengatakan Abdul Wahid sepertinya tidak belajar dari tiga Gubernur Riau terdahulu yang juga ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena rasuah.
"Menyedihkan ya, empat kali gubernur Riau terjerat operasi tangkap tangan ya. Artinya tidak ada pembelajaran yang diambil dari kasus-kasus sebelumnya dan tidak pernah ada perbaikan sistem yang berarti yang signifikan sehingga kasus ini terus berulang," kata Zaenur, melalui keterangannya, Kamis, 6 November 2025.
Zaenur menilai modus yang dilakukan Abdul terbilang unik. Abdul memiliki kode rahasia dalam transaksi dugaan korupsi di lingkungan Dinas PUPR-PKPP. Ia menggunakan kode '7 batang' untuk hasil kesepakatan permintaan uang.
Abdul meminta uang tersebut dengan kode 'jatah preman' kepada Sekretaris Dinas PUPR-PKPP dan 6 Kepala UPT Wilayah I-VI Dinas PUPR-PKPP Riau. Jatah itu merupakan imbal balik lantaran anggaran untuk proyek jalan dan jembatan di Dinas PUPR-PKPP telah dinaikkan hingga 147 persen dari yang semula hanya Rp71,6 miliar menjadi Rp177,4 miliar.
Zaenur menilai pemerasan Wahid kepada bawahannya ini akan menjadi efek domino. Ia mengatakan tak hanya Wahid, bawahannya pun diduga akan terlibat korupsi guna memenuhi permintaan Wahid.
"Mereka ini mengumpulkan uang dari berbagai sumber. Sehingga nantinya mereka harus menutup uang-uang yang sudah diberikan kepada Kepala Daerah dan orang-orangnya ini. Dengan cara apa? Meminta juga jatah preman kepada para penyedia barang dan jasa maupun kemudian melakukan fraud, melakukan proyek-proyek palsu," kata Zaenur.
Zaenur mengungkapkan rangkaian korupsi ini ujung-ujungnya hanya akan merugikan masyarakat. Ia mengatakan dari hasil bancakan tersebut, masyarakat tidak mendapatkan infrastruktur yang layak.
.jpg)
Gubernur Riau Abdul Wahid (tengah). Foto: Tangkapan layar YouTube KPK RI.
"Ujung-ujungnya infrastruktur yang terbangun adalah infrastruktur yang buruk, kualitas jalannya jelek, mudah rusak. Sehingga sekali lagi, ujung-ujungnya rakyat juga yang dirugikan," kata Zaenur.
Lebih lanjut, Zaenur menilai kasus pemerasan Wahid terjadi karena tidak ada pengawasan. Ia mengatakan inspektorat di daerah itu tumpul dan tidak mampu melakukan pengawasan.
"Kalau yang menjadi sumber masalahnya adalah kepala daerahnya, maka yang terjadi adalah pengawasan secara represif, yaitu oleh aparat pendekat hukum. Biasanya ini hasil dari penyadapan. Ketika ada informasi yang diperoleh dari masyarakat mengenai akan terjadinya transaksi korupsi, biasanya KPK melakukan penyadapan, kemudian melakukan pembuntutan, mengumpulkan informasi, dan ketika ada penyerahan uang, diikuti dengan operasi tangkap tangan," kata Zaenur.