Dewan Redaksi Media Group Ahmad Punto. Foto: MI/Ebet.
DUA tokoh yang belakangan ini menjadi media darling ataupun netizen darling, yakni Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi dan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, akhirnya 'dipertemukan' dalam satu isu perdebatan. Isu tersebut tentang pengelolaan keuangan daerah. Yang bikin seru, mereka bersilang kata, berselisih pendapat, yang membuat warganet ikut terbelah dengan sangat riuh.
Mulanya, Menkeu Purbaya mengungkapkan terdapat dana pemerintah daerah (pemda) yang belum digunakan dan masih mengendap di bank mencapai Rp234 triliun. Ia merujuk data Kementerian Keuangan per 15 Oktober 2025 yang sejatinya merupakan akumulasi simpanan daerah hingga akhir September 2025. Purbaya menuding simpanan uang daerah di bank terus menumpuk akibat serapan anggaran yang rendah.
Ia kemudian menyoroti 15 daerah yang disebutnya paling besar memiliki simpanan uang di bank. Salah satunya Jawa Barat. Meskipun 'hanya' menempati urutan kelima di bawah Provinsi DKI Jakarta, Provinsi Jawa Timur, Kota Banjar Baru, dan Provinsi Kalimantan Utara, nilai simpanan dana Pemprov Jawa Barat cukup tinggi, yakni Rp4,17 triliun.
Karena dapat sorotan seperti itu, Gubernur Dedi yang akrab disapa Kang Dedi Mulyadi alias KDM meradang. Ia tidak terima dibilang memarkirkan dana daerah di bank alih-alih menggunakannya untuk pembangunan yang produktif dan bermanfaat langsung bagi masyarakat. Ia tampaknya khawatir tudingan Menkeu itu bakal merusak persona yang ia bangun sejak awal sebagai gubernur yang dekat dan bekerja hanya untuk rakyat Jawa Barat.
Adu pendapat dua sosok yang sama-sama memiliki banyak penggemar di media sosial itu pun terjadi. KDM bahkan sempat menantang Purbaya membuktikan duit Rp4,17 triliun itu benar mengendap di bank sebab ia mengaku sudah mengecek langsung ke Bank BJB, bank daerah tempat Pemprov Jabar menyimpan kas, dan tidak menemukan simpanan sebesar itu. Menkeu tak kalah gertak, ia meminta Dedi mengecek sendiri ke Bank Indonesia karena data yang diungkapkannya bersumber dari bank sentral.
Perdebatan akhirnya usai setelah KDM mendatangi
Kementerian Dalam Negeri dan
BI untuk meminta klarifikasi. Di BI, Dedi mendapati keterangan ada dana di kas daerah sebesar Rp3,8 triliun dalam bentuk giro yang masuk pada 30 September 2025. Tercatatkan pula ada dana lain yang menjadi deposito badan layanan umum daerah (BLUD) di luar kas Pemprov Jabar.
"Uang Rp3,8 triliun ini, hari ini sudah dipakai untuk bayar proyek, gaji pegawai, belanja perjalanan dinas, bayar listrik, air, dan pegawai
outsourcing," ucap Dedi seraya memastikan posisi kas daerah Pemprov Jabar terus bergerak sesuai dengan kebutuhan belanja daerah, bukan diendapkan.
Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa. Foto: Dok. Kemenkeu.
Apakah persoalan serupa di daerah lain yang termasuk dalam 15 besar penyimpan dana tertinggi di bank versi Menkeu itu juga punya penyebab yang sama dengan Jawa Barat? Boleh jadi iya, bisa juga tidak. Mungkin perkaranya hanya soal kapan data itu diambil seperti pada kasus Pemprov Jabar. Menkeu berpatokan pada data 30 September 2025, sedangkan Pemprov Jabar baru membelanjakan uang itu pada Oktober.
Akan tetapi, tidak tertutup kemungkinan juga ada
pemda (termasuk yang ikut disentil Purbaya) memang sengaja memarkirkan uang mereka di bank untuk memperoleh sisa lebih penggunaan anggaran (silpa). Publik patut menduga hal itu, setidaknya karena dari 15 daerah yang disebut Menkeu, tidak semua menyampaikan bantahan atau protes.
Mereka diam, boleh jadi lantaran diam-diam selama ini mereka memang lebih suka mengambil untung dengan menyimpan uang di bank ketimbang membelanjakannya pada awal-awal tahun. Mereka tidak meneriakkan protes karena mungkin selama ini mereka memang tidak mampu mengelola keuangan publik dengan cermat sehingga memilih cara gampang: menempatkan uang daerah dalam deposito atau giro.
Karena itu, di balik semua perdebatannya yang seru karena melibatkan dua tokoh
top of mind di blantika maya saat ini, Purbaya dan KDM, masyarakat patut bersyukur bahwa polemik soal endapan dana daerah di bank itu dimunculkan. Kepopuleran dua orang itu harus diakui ikut membuat persoalan itu mendapat atensi tinggi dari publik.
Meskipun atensi itu mungkin dibungkus dengan pembelaan buta terhadap tokoh idola mereka, itu tak terlalu jadi soal. Yang penting, minimal, isunya mampu menancap di benak publik. Itu penting agar masalah yang sudah seperti penyakit kronis dan hampir selalu terjadi setiap tahun itu tidak berakhir seperti yang sudah-sudah: mencuat sebentar, setelah itu lenyap terlupakan.
Polemik itu pada akhirnya akan membuka tabir, daerah mana yang pengelolaan keuangannya benar dan daerah mana yang tidak. Pun, akan menguak mana daerah yang punya tabiat serapan anggaran yang cepat dan mana yang lambat atau sengaja dilambat-lambatkan agar bisa diendapkan lama di perbankan.
Mencuatnya polemik tersebut harus menjadi momentum dan peringatan bagi pemda untuk lebih menguatkan akuntabilitas dan transparansi pengelolaan keuangan, sekaligus mempercepat serapan anggaran daerah. Seluruh anggaran untuk rakyat, baik yang masuk di APBN maupun APBD semestinya dipastikan penggunaannya berjalan secara optimal semata untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat.
Kalau duit cuma dibiarkan
ngendon di rekening perbankan dan tak dialirkan ke sektor bisnis ataupun sektor produktif lain, mana paten? Mana pula bisa memberi dampak nyata terhadap pertumbuhan ekonomi?
Yang terjadi malah sebuah paradoks. Kalau pakai istilah para ekonom, paradoks fiskal. Rekening kas daerah tebal, tapi impaknya ke pembangunan dan masyarakat tipis. Mungkin sama tipisnya dengan telinga para kepala daerah yang gampang panas saat diingatkan soal jumbonya simpanan uang daerah di perbankan.