Dewan Redaksi Media Group, Jaka Budi Santosa. Foto: MI/Ebet.
KITA tunggu saja waktunya. Itulah jawaban yang makin digemari pejabat negeri ini ketika publik menyoal suatu perkara. Prudensial atau siasat?
Banyak kasus besar yang penanganannya terkesan lamban. Tidak sedikit perkara yang melibatkan orang berkuasa atau berpunya yang publik perlu kesabaran ekstra untuk menunggu penyelesaiannya. Kata orang, menunggu ialah pekerjaan paling menyebalkan. Celakanya, oleh pengelola negara, oleh penegak hukum, pekerjaan itu kian kerap disodorkan ke rakyat.
Dalam perkara dugaan korupsi kuota haji tambahan, misalnya. Sudah terbilang lama perkara itu ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Bukan barang sebentar kasus itu telah naik ke penyidikan. Artinya, KPK sudah memiliki minimal barang bukti tindak pidana. Semestinya sudah jelas siapa yang harus bertanggung jawab untuk dijadikan tersangka.
Akan tetapi, sekali lagi, publik dipaksa sabar menanti. Begitu banyak keterangan sudah dikumpulkan, seabrek barang bukti telah diamankan, dan berderet orang sudah diperiksa kiranya masih kurang. Kapan cukupnya, kapan ada tersangka? Itulah perlunya warga bangsa ini punya dada yang jembar.
Tinggal menunggu waktu. Itulah jawaban Ketua
KPK Setyo Budiyanto, Senin (6/10) silam. Dan, setelah sekira dua pekan jawaban itu berlalu, hingga kini belum ada jua tersangka. Kata dia, itu masalah waktu saja.
Lazimnya pejabat, Setyo juga berusaha meyakinkan bahwa para penyidik KPK tak tinggal diam. Dia bilang, penyidik masih perlu melengkapi pemberkasan dan melakukan pemanggilan orang-orang untuk memperkuat barang bukti. Soal faktor lain, masalah kemungkinan ada tekanan atau intervensi? Dia jelas menjawab tidak. Normatif.
Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu seirama. Kata dia, penyidik tetap bekerja. Dia sadar, rakyat tak sabar lagi menunggu jumpa pers di Gedung Merah Putih dengan latar belakang para tersangka berompi oranye. Pihaknya pun sama, sama-sama ingin kasus ini selesai. Begitu katanya, tiga hari lalu.
Kasus korupsi kuota haji tambahan bukan kasus kecil. Ia perkara besar, jumlah kerugian negara sangat besar, Rp1 triliun lebih, dan melibatkan orang besar. Penanganan kasus ini ditingkatkan ke tahap penyidikan pada 7 Agustus 2025 setelah KPK memeriksa mantan Menteri Agama
Yaqut Cholil Qoumas. Gus Yaqut ialah eks Ketua Umum Gerakan Pemuda Ansor/Panglima Tertinggi Banser yang juga adik kandung Ketua Umum PBNU Yahya Cholil Staquf. Dia bukan orang sembarangan.
Gedung Merah Putih KPK. Foto: Metrotvnews.com/Candra.
Tidak sedikit pihak yang telah diperiksa. Selain Gus Yaqut, ada Dirjen Penyelenggara Haji dan Umrah
Kemenag Hilman Latief, Ketua PBNU sekaligus staf Yaqut, Ishfah Abidal Aziz, dan Wakil Sekjen PP Gerakan Pemuda Ansor Syarif Hamzah Asyathry. Pun dengan sejumlah pemilik agen perjalanan haji, termasuk penceramah Khalid Basalamah.
Penggeledahan juga sudah dilakukan di beberapa tempat. Barang bukti yang disita seabrek. Ke mana saja uang mengalir pun sudah diketahui dari Pusat Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK).
Jadi, kalau publik ingin segera tahu siapa tersangka dalam kejahatan tingkat tinggi itu, rasanya lumrah banget. Lumrah pula syak wasangka bahwa ada sesuatu kenapa penetapan tersangka terkesan lama.
Jangan-jangan memang ada tangan-tangan kuat yang menghalangi. Jangan-jangan ada kekuatan besar yang mengintervensi. Jangan-jangan…
Uji kesabaran publik juga tersaji di kasus Silfester Matutina, Ketua Umum Solidaritas Merah Putih loyalis Jokowi. Ujian ini malah lebih berat, juga lebih lama. Bayangkan, meski telah enam tahun putusan inkrah diketok palu, Silfester belum juga dieksekusi hingga saat ini. Dia divonis 1,5 tahun penjara dalam kasus pencemaran dan fitnah terhadap mantan Wapres Jusuf Kalla.
Bayangkan pula, kendati perkara keadilan dan kesetaraan hukum itu menjadi atensi luar biasa, Kejari Jakarta Selatan selaku eksekutor tetap saja seperti kehilangan nyali. Eksekusi tak kunjung diperlihatkan, penetapan Silfester sebagai buron pun tak mereka lakukan. Lalu? Rakyat disuruh sabar menunggu.
Kapuspenkum
Kejagung Anang Supriatna minta publik menyerahkan penanganan perkara ke jaksa eksekutor. Menurut dia, jaksa sedang mencari yang bersangkutan. ''Kita tunggu saja,'' begitu ucapnya, empat hari lalu. Gampang, kan?
Perkara
Firli Bahuri sami mawon, sama-sama mengatasnamakan waktu. Penegak hukum yang seharusnya cepat menindak bekas Ketua KPK itu justru sibuk menjadikan waktu sebagai alasan. Firli yang juga perwira tinggi Polri menjadi tersangka pemerasan terhadap eks Mentan Syahrul Yasin Limpo pada 23 November 2023. Dia tak ditahan. Saat ditanya, Kapolda Metro Jaya kala itu, Irjen Karyoto, meminta publik bersabar.
Jawaban serupa selalu terucap pada waktu-waktu berikutnya. ''Tunggu tanggal mainnya,'' begitu dia berucap pada 1 Februari 2024. Lama tak jelas penyelesaiannya, Karyoto tetap setia dengan jawaban sama. ''Tenang saja, nanti selesai,'' ujarnya pada 20 November 2024.
Benar-benar selesaikah kasus itu? Boro-boro. Walau sudah hampir dua tahun berlalu, meskipun Pak Karyoto sudah pindah posisi sebagai Kabaharkam Polri dengan tambahan satu bintang di pundak, perkara Firli tak jelas penyelesaiannya. Dia masih bebas melenggang.
Pada kenyataannya, tidak ada waktu yang benar-benar sempurna untuk memulai. Akan tetapi, menunggu waktu yang tepat sebagai alasan untuk menunda tindakan tak bisa dibenarkan.
Publik, termasuk saya, khawatir frasa 'kita tunggu saja waktunya' untuk menuntaskan perkara hukum hanyalah siasat untuk tidak menuntaskannya. Publik, termasuk saya, ogah dipaksa terus menunggu hingga lupa pada akhirnya. Kasus Firli, Silfester, ialah contoh nyata kekhawatiran itu. Jangan sampai kasus korupsi kuota haji bernasib sama.