Dewan Redaksi Media Group Gaudensius Suhardi. Foto: MI/Ebet.
Media Indonesia • 23 December 2024 06:58
SUDAH 71 tahun negeri ini memberantas korupsi, tetapi koruptor mati satu tumbuh seribu. Perlu strategi baru untuk memberantas kejahatan luar biasa itu, bukan langkah-langkah biasa saja.
Literatur mencatat sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia dimulai sejak 1953. Silih berganti peraturan disusun, gonta-ganti pula lembaga dibentuk untuk memberantas korupsi. Terakhir terbentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Harus jujur diakui bahwa hasil dari pemberantasan korupsi selama ini ialah berkembang biaknya korupsi yang semakin meluas dan merambahi lembaga-lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Korupsi yang semula tersentralisasi di pusat kini menjangkau daerah-daerah bersamaan era otonomi daerah.
Pemberantasan korupsi telah gagal. Pimpinan KPK periode 2019-2024 mengakui pemberantasan korupsi telah gagal dijalankan. Kegagalan tersebut, ungkap mantan Wakil Ketua KPK Alexander Marwata dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR pada 1 Juli 2024, diukur dari indeks persepsi korupsi yang terus menurun.
Kegagalan
KPK telah membuat korupsi dianggap tidak penting oleh masyarakat dan penyelenggara negara. Fakta yang membuat mata membelalak dan mulut ternganga-nganga didapatkan dari publikasi Badan Pusat Statistik.
BPS mencatatkan indeks perilaku antikorupsi (IPAK) Indonesia 2024 sebesar 3,85% pada skala 0 sampai 5. Angka itu lebih rendah jika dibandingkan dengan capaian 2023 sebesar 3,92%.
Nilai indeks semakin mendekati 5 menunjukkan masyarakat berperilaku semakin antikorupsi dan sebaliknya, nilai indeks yang semakin mendekati 0 menunjukkan masyarakat berperilaku semakin permisif terhadap korupsi.
Menurut temuan BPS, misalnya, persentase masyarakat yang menganggap tidak wajar sikap pengurus RT/RW membantu calon kepala desa/kepala daerah/legislatif untuk membagikan uang/barang/fasilitas kepada masyarakat agar dipilih menurun dari 80,10 (2023) menjadi 80,08 (2024).
Begitu juga persentase masyarakat yang menganggap tidak wajar sikap calon pemilih menerima pembagian uang/barang/fasilitas pada penyelenggaraan pilkades/pilkada/pemilu menurun dari 62,78 (2023) menjadi 58,09 (2024).
Kegagalan lain dalam pemberantasan korupsi selama ini ialah ketidakmampuan mengembalikan kerugian negara. Padahal, semangat UU 7/2006 tentang Konvensi PBB Antikorupsi 2003 ialah pengembalian aset-aset yang berasal dari tindak pidana korupsi. Penegakan hukum selama ini lebih mementingkan pemidanaan fisik ketimbang pengembalian kerugian negara.
Ambil contoh catatan Indonesia Corruption Watch (ICW) pada 2018. Kerugian negara saat itu mencapai Rp9,29 triliun, uang pengganti yang masuk kas hanya Rp805 miliar dan US$3 juta. Jumlah itu hanya sekitar 8,7?ri total kerugian negara.
Kiranya ada paradigma baru penanganan tindak pidana korupsi. Usul Rida Ista Sitepu dan Yusona Piadi bisa menjadi pertimbangan. Usul mereka tertuang dalam hasil penelitian berjudul
Implementasi Restorative Justice dalam Pemidanaan Pelaku Tindak Pidana Korupsi (2019).
Menurut mereka, konsep pendekatan
restorative justice perlu dipertimbangkan agar pengembalian kerugian negara menjadi pidana pokok. Alasannya, apabila penggantian kerugian negara tetap menjadi pidana tambahan, masih ada peluang bagi hakim untuk memutuskan pidana subsider atau pidana kurungan pengganti apabila terpidana tidak mampu mengembalikan kerugian tersebut.
“Dalam lensa keadilan restoratif, bahwa apabila terpidana tidak mampu mengembalikan kerugian tersebut meskipun semua harta kekayaannya telah dilelang, ketimbang memenjarakan terpidana lebih baik negara memberdayakan pelaku korupsi dalam bentuk kerja paksa sesuai dengan keahliannya.” Hasil kerja paksa tersebut dirampas negara untuk menutupi kerugian negara yang tidak sanggup dibayar terpidana.
Usul kedua peneliti itu senapas dengan gagasan yang disampaikan
Presiden Prabowo Subianto untuk memberikan maaf para koruptor dengan syarat, uang hasil korupsi harus dikembalikan terlebih dahulu ke negara.
“Hei, para koruptor atau yang merasa pernah mencuri dari rakyat. Kalau kau kembalikan yang kau curi, ya mungkin kita maafkan, tapi kembalikan dong. Nanti kita beri kesempatan cara mengembalikannya, bisa diam-diam supaya enggak ketahuan," ujar Prabowo saat pertemuan dengan mahasiswa Indonesia di Universitas Al Azhar di Mesir yang ditayangkan kanal
Youtube Sekretariat Presiden pada 19 Desember 2024.
Masih ada orang yang tidak setuju memaafkan koruptor dengan alasan menabrak ketentuan perundang-undangan bahwa pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapus pidana. Meski demikian, terdapat sejumlah hak istimewa yang melekat pada jabatan presiden seperti amnesti atau abolisi.
Pemberian amnesti dilakukan sebagai upaya melepaskan pertanggungjawaban pidana seseorang (baik sebelum diadili atau pada saat menjalani pemidanaan). Abolisi ialah penghapusan atau peniadaan suatu peristiwa pidana.
Saat ini, kata Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan
Yusril Ihza Mahendra, pihaknya membuka kemungkinan adanya ribuan koruptor yang bisa diberi amnesti atau abolisi oleh Presiden Prabowo. Namun, syaratnya, mereka harus terlebih dulu mengganti kerugian negara.
Gagasan amnesti atau abolisi koruptor dengan syarat mengganti kerugian negara patut didukung. Uang dari koruptor itu bisa dipakai untuk menghadirkan kesejahteraan bagi rakyat. Itulah paradigma baru pemberantasan korupsi: mementingkan pengembalian kerugian negara ketimbang hukuman fisik.