Ahmad Punto Dewan Redaksi Media Group: Foto: MI/Ebet
7 November 2025 09:52
Mewujudkan pemerintahan yang bersih di negeri ini sepertinya masih jauh panggang daripada api. Salah satu faktor yang membuat jarak itu semakin jauh ialah korupsi. Praktik itu ibarat penyakit sudah komplikasi. Nyaris tidak ada instansi, lembaga, komisi, badan yang steril dari korupsi.
Rasuah yang melibatkan pejabat publik atau penyelenggara negara tentu amat memprihatinkan. Mereka yang diberi kehormatan memegang tampuk amanah rakyat malah kerap bermufakat jahat untuk memperkaya diri sendiri ataupun orang lain dengan cara-cara yang tidak jujur. Rakyat dikhianati demi kepentingan pribadi.
Kiranya benar belaka teori yang mengatakan 'kekuasaan cenderung korup, semakin besar kekuasaan semakin besar kecenderungan korup'. Bahkan ketika kekuasaan itu baru sebentar dalam genggaman, godaan untuk melakukan korupsi sudah mengejar-ngejar. Banyak kepala daerah yang tahan godaan, tapi tidak sedikit yang tak kuasa menolak godaan sambil berucap, 'mana tahan?'.
Gubernur Riau Abdul Wahid ialah salah satu contohnya. Ia belum setahun menjabat, pun barangkali belum kelihatan hasil kerjanya dalam menyejahterakan masyarakat Riau. Namun, rupanya ia sudah 'pandai' soal korupsi. Ia cepat menangkap ilmu tentang peluang korupsi dan bagaimana cara memanfaatkan kekuasaannya untuk mengeruk pundi-pundi.
Untungnya, Wahid tidak terlalu pandai untuk menutupi jejaknya. Praktik korupsinya pun cepat terendus. Awal pekan ini, KPK menangkapnya melalui operasi tangkap tangan. KPK mengungkap adanya praktik 'jatah preman' dalam kasus dugaan pemerasan yang dilakukan Gubernur Riau dan sejumlah pejabat lainnya.
Sesungguhnya, praktik korupsi tidak semata disebabkan terbukanya peluang. Kalau kita merujuk pada teori GONE, teori paling populer yang menjelaskan latar belakang individu melakukan tindak pidana korupsi, peluang atau kesempatan (opportunity) hanyalah salah satu faktor pemicu gairah rasuah.
Faktor lainnya ialah greed (keserakahan), needs (kebutuhan), dan exposure (pengungkapan, berkaitan dengan hukuman yang diterima pelaku jika tindakan korupsinya terungkap). Keempat sebab itulah yang membentuk teori GONE.
Uniknya, di Indonesia, GONE sepertinya belum cukup. Yang memperparah sekaligus menyuburkan korupsi di Republik ini ialah sikap toleransi yang terlampau tinggi. Aneh, memang, praktik jahat seperti korupsi kok ditoleransi, tapi begitulah faktanya. Dari hulu ke hilir hampir semua toleran terhadap praktik korupsi.
Dimulai dari sisi masyarakat, menurut riset Airlangga Institute for Learning and Growth (AILG) 2004 yang dirilis sekitar awal tahun ini, terungkap bahwa semakin sering masyarakat terpapar oleh praktik korupsi dalam kehidupan sehari-hari, semakin besar kemungkinan mereka menganggapnya sebagai hal biasa dan dimaklumi.
Baca Juga :
Kita pun sering kali terjebak menggunakan istilah 'budaya korupsi' sebagai padanan frasa fenomena korupsi. Kalau korupsi ialah budaya, berarti harus dilestarikan, dong? Begitulah kira-kira letak kesalahan penggunaan istilah 'budaya korupsi' yang tanpa kita sadari merupakan bentuk dari toleransi terhadap korupsi.
Pada proses selanjutnya, sikap toleran juga banyak ditunjukkan para penegak hukum. Penegakan hukum di Indonesia, harus diakui, dikenal sangat toleran terhadap tersangka dan terdakwa kasus korupsi. Pengusutan kasus yang ogah-ogahan, tuntutan jaksa yang ringan, vonis majelis hakim rendah, dan obral diskon hukuman ialah contoh toleransi penegak hukum yang kelewat tinggi kepada para pelaku korupsi.
Belum lagi dari sisi politik. Partai politik, misalnya, sebagian dari mereka terlalu permisif terhadap kader yang nyata-nyata terjerembap ke kubangan korupsi. Tidak sekadar membela saat kasus hukum sedang berjalan, ada yang bahkan masih menerima kembali eks terpidana korupsi dan mempersilakan mereka menduduki jajaran pengurus parpol.
Negara dan pemerintah pun bisa dianggap punya toleransi tinggi terhadap korupsi karena sering kali gagap mereformasi sistem politik dan tata kelola pemerintahan yang membuka celah peluang bagi tumbuhnya rasuah. Pemerintahan bersih seolah hanya jadi yel-yel, pada praktiknya lubang-lubang yang jadi pintu masuk aksi-aksi kotor tak segera ditutup.
Baca Juga :
Apabila sikap toleran dari ujung bawah sampai ujung atas itu masih dirawat, tidak mengherankan korupsi dalam segala bentuknya akan kian subur dan bahkan mengganas. Lama-lama semua akan dinormalisasi. Gratifikasi akan dianggap hadiah biasa, suap menjadi hal yang lumrah, menyunat anggaran pun akan diklaim sebagai hal yang wajar.
Pada situasi seperti itu, sesungguhnya kita amat berharap pada keteladanan integritas dari para pemimpin. Baik di tingkat nasional maupun daerah. Pemimpin yang berintegritas akan mencegah praktik korupsi di instansinya. Anak buah akan takut melakukan penyelewengan bila pimpinan mereka tegas mencontohkan sikap antikorupsi.
Akan tetapi, yang kita saksikan hari-hari ini justru para pemimpin itu yang memberikan contoh buruk dengan melakukan korupsi. Gubernur Riau bukan satu-satunya kepala daerah yang tersangkut pada perkara rasuah. Menurut catatan KPK, sebelum Wahid sudah ada 30 gubernur, serta 171 bupati/wali kota yang mereka tangkap sejak lembaga itu berdiri pada 2004.
Belum lagi di tingkat menteri, wakil menteri, anggota parlemen, dan pimpinan lembaga lain. Sangat panjang kalau semua dideretkan dan kiranya bakal semakin bertambah panjang kalau bangsa ini tak cepat mengubah sikap, tidak lagi menoleransi praktik korupsi.