(Pura-pura) Serius Berangus Korupsi

Dewan Redaksi Media Group, Jaka Budi Santosa. Foto: MI/Ebet.

(Pura-pura) Serius Berangus Korupsi

Media Indonesia • 8 May 2025 06:01

SESERIUS apa sebenarnya pengelola negara ini untuk memberantas korupsi? Serius banget, serius, atau pura-pura serius? Itulah pertanyaan yang sudah lama mengapung ke permukaan, tapi hingga kini belum juga mendapat jawaban.

Katanya, sih, negara sangat serius memerangi korupsi. Semua pemimpin, seluruh presiden, selalu mengatakan itu. Kata mereka, korupsi ialah musuh bangsa yang harus dimusnahkan segera. Mereka tak henti berorasi, tak bosan melontarkan janji, untuk membabat habis korupsi. Faktanya?

Alih-alih terbasmi, korupsi malah semakin menjadi. Jangankan gigih memberantas korupsi, justru ada yang mengamputasi kekuatan Komisi Pemberatasan Korupsi. Ini terjadi di era pemerintahaan Pak Jokowi. Pada 2019, KPK dikebiri dengan revisi undang-undang. KPK yang awalnya bertaji tak lagi bergigi. Itulah, katanya sungguh-sungguh melawan korupsi, tapi di lapangan lain dengan yang dikatakan.

Bagaimana dengan pemerintahan Pak Prabowo Subianto saat ini? Serius banget, serius, atau pura-pura serius? Dari sisi visi-misi, sih, bagus. Akan tetapi, kiranya semua itu masih sekadar janji tinggal janji. Belum ada terobosan, masih nihil gebrakan. Masih sama yang dulu-dulu, sami mawon. Barangkali itu makna dari keberlanjutan.
 

Baca juga: 

Dukung Presiden Sahkan RUU Perampasan Aset, Tanak: Bisa Perkuat Kerja KPK


Pak Prabowo memang baru enam bulan lebih berkuasa. Terlalu prematur untuk memvonis dia gagal atau berhasil memimpin perang melawan korupsi. Akan tetapi, kalau kita menyimak apa saja yang sudah dilakukan selama setengah tahun ini, rasanya kok sulit bagi rakyat, setidaknya saya, untuk optimistis bahwa korupsi akan bisa selekasnya dikalahkan.

Banyak kritikan di awal pemerintahan Pak Prabowo ihwal komitmennya memberantas korupsi. Ketika dia memilih sejumlah menteri yang tersangkut perkara korupsi, keraguan terhadapnya mulai datang. Ketika dia berujar akan mengampuni koruptor asal mengembalikan uang negara yang digarong, pesimisme terhadapnya bermunculan. Pun ketika dia bilang kasihan kepada keluarga koruptor jika asetnya disita.

Keraguan itu, pesimisme itu, boleh jadi menebal hari-hari ini. Hari yang mana telah lahir undang-undang yang menggariskan bahwa direksi dan komisaris badan usaha milik negara (BUMN) bukanlah penyelenggara negara. Namanya UU No 1 Tahun 2025 tentang tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara.

Ia diteken Presiden Prabowo pada 24 Februari 2025. Dalam Pasal 3X ayat 1 disebutkan bahwa organ dan pegawai badan bukan merupakan penyelenggara negara. Kemudian, pada Pasal 9G diatur bahwa anggota direksi, dewan komisaris, dan Dewan Pengawas BUMN bukan merupakan penyelenggara negara.
 
Baca juga: 

RUU BUMN Bikin Para Petinggi BUMN Tak Bisa Dijerat KPK


Sulit diterima kenapa petinggi BUMN bukan lagi penyelenggara negara. Bukankah mereka mengelola badan usaha kepunyaan negara? Bukankah BUMN mendapatkan kucuran uang atau biasa dikenal dengan penyertaan modal negara? Lalu apa konsekuensinya?

Dengan tanggalnya predikat sebagai penyelenggara negara, KPK terancam tak dapat lagi menindak mereka jika terjadi dugaan korupsi. Rambu-rambu menghalangi itu. Pasal 11 ayat 1 UU No 19 Tahun 2019 mengatur bahwa KPK hanya bisa mengusut dugaan korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara.

Begitulah, tatkala negara butuh kekuatan lebih untuk menghadapi korupsi, satu lagi kekuatan dikebiri. Betul bahwa KPK tak sehebat dulu. Namun, dengan mencabut mereka dari pasukan perang, kini praktis tinggal kejaksaan dan Polri yang dapat membabat para penjahat di BUMN. Padahal, fakta menunjukkan bahwa BUMN selama ini adalah ladang basah bagi mereka yang serakah.

Banyak sekali kasus korupsi di BUMN. Tidak sedikit direksi perusahaan pelat merah itu melakukan rasuah. Mari kita tengok temuan Indonesia Corruption Watch (ICW) ini. Sepanjang 2016 hingga 2021 atau selama enam tahun saja, terdapat 119 kasus korupsi di lingkungan BUMN yang disidik penegak hukum. Jumlah tersangkanya 340 orang. Banyak di antara kasus-kasus itu hasil jerih payah KPK.
 
Baca juga: 

Tak Ikut UU BUMN, Ketua KPK Mengacu ke UU Good Governance


Itu belum kasus-kasus yang diungkap selepas 2021. Jumlahnya lebih banyak lagi, besaran korupsinya pun lebih wow lagi. Korupsi di PT Timah yang merugikan negara Rp300 triliun, amsalnya. Rasuah di anak perusahaan PT Pertamina dalam kurun 2018-2023 yang per tahun merugikan negara sebesar Rp193,7 triliun, umpamanya. Gila enggak?

Korupsi di BUMN bak perlombaan. Adu culas siapa yang paling ganas memangsa uang negara. Dulu publik geleng-geleng kepala ketika korupsi Jiwasraya selama 2008-2018 dinyatakan merugikan negara senilai Rp16,81 triliun. Dulu rakyat marah tingkat dewa tatkala terungkap korupsi di PT ASABRI 2012-2019 dengan kerugian sebesar Rp22,78 triliun. Ternyata itu tidak ada apa-apanya jika dibandingan dengan kasus Timah dan Pertamina. Lalu, bukti apa lagi yang hendak engkau ingkari bahwa praktik lancung di BUMN sama sekali tak boleh dikompromi?

Kenapa kerakusan tiada batas itu malah disikapi dengan mencabut status petinggi BUMN sebagai penyelenggara sehingga kemungkinan tak bisa lagi disentuh KPK? Presiden Prabowo Subianto di mana-mana menyatakan akan menghajar koruptor, menyikat habis koruptor, memburu koruptor sampai Antartika, eh, tetiba lahir UU seperti ini. Serius banget, serius, atau pura-pura seriuskah pengelola negara ini menghadapi korupsi? Bingung saya.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(Anggi Tondi)