Dewan Redaksi Media Group Ahmad Punto. Foto: MI/Ebet.
Media Indonesia • 7 November 2024 05:28
ADAKAH korelasi langsung antara perekonomian yang lesu, daya beli masyarakat yang lemah, dan maraknya perjudian secara online atau daring belakangan ini? Di atas kertas, agak susah menghubungkannya, bahkan terkesan bertolak belakang.
Judi bukanlah kebutuhan. Sedangkan ketika daya beli seseorang melorot, yang mereka dahulukan pasti pemenuhan kebutuhan pokok. Jangankan untuk berjudi atau hura-hura, untuk memenuhi kebutuhan yang utama saja, mereka terengah-engah kepayahan.
Namun, itu sekadar teori di atas kertas. Praktiknya bisa sama sekali berbeda. Di lapangan, situasi ekonomi sulit dan judi online bisa jadi punya ketertautan. Mengapa begitu? Karena di tengah impitan ekonomi yang begitu berat, di antara sesaknya beban yang mesti dipikul untuk bertahan hidup, banyak orang mencari hal-hal berbau spekulatif demi mencoba keluar dari labirin kesulitan itu. Judi online salah satunya.
Judi online digandrungi karena ia menawarkan harapan. Kalau kata Bang Haji Rhoma Irama, judi menjanjikan kemenangan, juga menjanjikan kekayaan. Itu harapan, meski lebih kerap berakhir dengan kebohongan. Selain harapan, judi daring juga menawarkan kemudahan dengan cara bermain yang semudah kita mengirim pesan melalui gawai.
Maka itu, tidak mengherankan bila
judi online merebak sangat cepat dalam beberapa tahun terakhir. Jumlah pemain terus bertambah, situs judi pun tak pernah berkurang meski pemblokiran konon terus dilakukan. Belakangan bahkan terungkap ada komplotan 'orang dalam' kementerian yang mengurusi pemblokiran situs
judi online, malah melindungi situs-situs itu agar tidak diblokir.
Dari sisi transaksinya, judi
online juga luar biasa. Tren kenaikan transaksinya amat laju, setidaknya dalam empat tahun terakhir. Pada 2021, transaksi
judi online 'masih' Rp57,91 triliun, lalu naik hampir dua kali lipat pada 2022 menjadi Rp104,42 triliun. Pada 2023 melonjak lagi, mencapai Rp327,05 triliun. Tahun ini diprediksi akan melesat lagi karena transaksi pada semester pertama saja sudah sebesar Rp283 triliun.
Jualan apa lagi selain jualan harapan akan kemenangan melalui judi yang bisa mencatat transaksi sebesar itu dalam waktu singkat? Janji harapan itu pula yang menjadi alasan mengapa justru orang-orang yang berkantong tipis, yang seharusnya menggunakan uang mereka untuk kebutuhan yang lebih penting atau untuk ditabung, malah banyak yang terperangkap sadisnya jeratan
judi online.
Karena itu, ketika ada pertanyaan adakah korelasi antara ekonomi masyarakat yang melemah dengan maraknya judi
online, jawabnya, ada. Kondisi ekonomi seseorang yang terkadang sampai bikin frustasi, bahkan depresi, menjadi salah satu di antara banyak faktor lain yang membuat para bandar judi online tak pernah kehilangan 'pasar'.
Pasar inilah yang mereka pertahankan dan jaga betul sehingga
judi online bisa tumbuh amat subur nyaris tanpa halangan. Dengan pasar yang selalu tersedia, mereka terus membombardir masyarakat dengan berbagai macam produk judi
online yang selalu
up to date.
Dengan fakta itu, lantas cukupkah pemberantasan praktik
judi online difokuskan ke para pelaku, aktor penyedia, dan sutradara atau bandar besarnya? Atau lebih dari cukup bila ditambah dengan menguatkan literasi digital dan keuangan masyarakat agar mereka tak gampang terhasut godaan atau harapan palsu dari judi
online?
Sejujurnya, semua ikhtiar tadi wajib dilakukan dan harus segera. Akan tetapi, mestinya tidak cukup sampai di situ. Problem mendasarnya tak boleh dilupakan dan harus masuk dalam rencana aksi pemberangusan apabila negara ini betul-betul serius ingin mematikan judi
online ke akar-akarnya.
Kita, terutama negara dan pemerintah, tidak boleh menutup mata bahwa sebagian besar pemain judi
online di Indonesia berasal dari kelompok masyarakat berpenghasilan rendah. Data Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) pada Juli 2024 lalu mencatat sebanyak 3,4 juta warga Indonesia teridentifikasi bermain judi
online. Dari jumlah itu, 80% di antaranya merupakan masyarakat berpenghasilan rendah.
Makin parah lagi, PPATK juga menyatakan sebagian besar pemain judi
online terjerat
pinjaman online. Nah, lo, sudah jatuh tertimpa tangga pula. Sudah judinya kalah, utangnya pun menumpuk tak terbayar. Ambyar.
Pemerintah punya tugas berat untuk menciptakan harapan 'tandingan' untuk melawan harapan yang ditawarkan judi
online. Harapan yang pastinya lebih konkret buat masyarakat, terutama di sektor ekonomi. Harapan yang betul-betul bersandar dari fakta di lapangan dan memang dibutuhkan sebagian besar masyarakat, seperti penciptaan lapangan kerja, penguatan daya beli, hingga stabilisasi harga kebutuhan pokok.
Hadirkan harapan itu berikut rencana aksinya sebagai bagian dari upaya pemberantasan judi
online secara holistik. Kalau untuk itu saja negara terus-terusan absen, amat wajar bila masyarakat akhirnya lebih nyaman menggantungkan asa ke situs-situs judi
online.